Antara Mendaki dan Minimalisme

Hosting Murah

Saya suka mendaki. Suka menikmati dan menyatu dengan alam. Sudah sejak 6 tahun lalu. Mungkin lebih, saya lupa tepatnya.

Dan saya baru aja menerapkan pola hidup sebagai seorang Minimalist.

Belum lama, baru awal bulan Februari kemarin. Meski sudah cukup lama kenal dengan konsep Minimalisme, tapi baru benar-benar menerapkannya sekarang.

Asik sih, seru. Ada beberapa hal yang berubah selama sebulan ini. Tapi bukan ini yang mau saya bahas. Nanti saya ceritakan di tulisan terpisah.

Saya mau bahas hal yang lain.

Jadi, sampai hari ini, hampir 7 bulan saya belum naik gunung lagi. Ya sibuk, ya hujan, ya bentrok dengan acara lain, dan banyak lagi halangannya.

Jadi, sekarang udah “mabok berat” hahaha. Saya rindu alam.

Sampai saya lagi berpikir, saya naik gunung kan semuanya serba terbatas. Air, logistik yang di bawa, waktu, peralatan, tenaga. Tapi kok saya senang ?

Ditambah lagi, saya sudah hijrah ke Ultralight hiking sejak setahun lebih. Jadi makin minimalis barang bawaan saya. Tapi, kenapa justru jadi lebih bahagia ?

Sebentar, saya baru menyebut kata minimalis.

Sadar ngga sadar, berkaitan atau ngga, tapi ketika saya renungi lebih jauh, saya mengamini bahwa mendaki gunung mencerminkan konsep Minimalisme.

Ketika saya mendaki, saya dihadapkan pada banyak keterbatasan. Stok air dan makanan terbatas. Waktu tempuh terbatas. Bahkan sinyal pun terbatas.

Peralatan untuk masak juga seadanya, jadi saya harus memanfaatkan sedikit peralatan untuk dijadikan multifungsi, agar lebih efektif.

Tapi anehnya, semua hal yang serba minim itu justru bisa mencukupi semua kebutuhan saya selama di gunung. Dan saya bahagia. Sangat bahagia.

Saya ngga lagi disibukkan oleh aktivitas ngga penting. Saya ngga lagi fokus ke gadget. Saya lebih banyak fokus ke alam dan suasana sekitar saya.

Saya lebih banyak berinteraksi dengan sesama pendaki lain.

Bukankah ini sama dengan konsep Minimalisme yang diceritakan Fumio Sasaki ?

Beliau berbagi beberapa sudut pandangnya sebagai seorang Minimalist :

1. Sedikit barang tidak membuatmu kekurangan

Dengan sedikit barang, biasanya orang takut kekurangan. Makanya orang suka menyimpan barang, dengan dalih “suatu saat akan terpakai“. Padahal, ketika barang-barang itu disingkirkan, kenyataannya orang tersebut ngga akan kekurangan. Malah cepat melupakan barang yang sudah dibuangnya.

Sama persis dengan yang saya rasakan saat mendaki. Saya hanya membawa peralatan yang saya butuhkan saja. Sangat detail dan selektif.

Kenyatannya, ketika mendaki, Alhamdulillah semua aktivitas saya selalu tercukupi oleh bantuan peralatan-peralatan yang sedikit itu.

Konsepnya sama kan ?

2. Sedikit barang, sedikit distraksi, banyak interaksi

Fumio berkata, semakin banyak barang yang Anda punya, semakin banyak pula aktivitas yang diperlukan untuk merawat, membersihkan, dan menggunakan barang-barang tersebut.

Bandingkan jika hanya memiliki sedikit barang, artinya Anda punya banyak waktu luang untuk “merasakan” kehidupan. Bukan terjebak dengan barang-barang.

Anda bisa punya banyak waktu untuk main dengan sahabat, melakukan hal-hal yang Anda suka, ngobrol dengan tetangga, dan banyak hal menarik lainnya.

Itu juga yang saya rasakan saat mendaki. Sedikit peralatan dan keterbatasan membuat saya “lebih merasakan” kehidupan sebenarnya.

Saya merasakan suasana alam. Saya menikmati mengobrol dengan sesama pendaki tanpa terganggu notifikasi hp. Benar-benar “hadir” secara utuh.

Konsepnya sama ( lagi ) bukan ?

Makanya kenapa saya suka mendaki. Karena dengan mendaki, saya bisa keluar dari derasnya rutinitas. Saya bisa berhenti sejenak untuk kembali “hadir”.

3. Sedikit barang membuatmu lebih bahagia

Ini jelas statement yang sangat bertentangan bagi kebanyakan orang. Mereka berpikir, harus punya aneka barang untuk memenuhi kebutuhan .

Yang dibayangkan, banyak orang menumpuk barang, dengan pemikiran “supaya nanti saat butuh udah siap dipakai, ngga perlu cari-cari lagi”.

Padahal momen “saat butuh” itu ngga pernah terjadi.

Dan Fumio membuktikan sebagai seorang Minimalist, dengan memiliki hanya segelintir barang-barang penting saja, hidupnya bisa jauh lebih bahagia.

Fumio jauh lebih bisa merasakan energi hidupnya.

Hal yang sama saya rasakan saat mendaki. Bukan peralatan super lengkap yang bikin bahagia. Tapi ketiadaan tumpukan barang yang membuat “plong” rasanya.

Saya cuma bawa daypack ukuran 30 liter dengan peralatan super efektif dan tetap safety, sehingga ngga ada satu pun alat yang ngga berguna.

Jadi saat di gunung saya udah ngga pernah ngurusin barang lagi. Saya bisa sepenuhnya fokus dengan aktivitas saya selama pendakian.

Menarik bukan ? Saya menemukan banyak kesamaan.

Dan kalau Anda masih setia membaca sampai baris ini, saya sarankan banget Anda untuk mulai mencoba menjalankan konsep Minimalisme.

Saya meyakini Anda akan “menemukan” lagi kehidupan.

Masih ada beberapa kesamaan lain yang saya rasakan antara mendaki gunung dan Minimalisme. Dan hal ini membuat saya semakin bersemangat.

Saya merasa sudah ada di jalur yang benar dengan mencintai aktivitas mendaki, dan mulai menjalankan pola hidup sebagai seorang Minimalist.

Jadi, bagaimana menurut Anda tentang Minimalisme ?

Rizki Alief Irfany

RIZKI ALIEF IRFANY

Minimalist. Traveler. Blogger & Digital Marketer. Ingin bermanfaat untuk orang lain dengan cara berbagi wawasan lewat tulisan.

Anda Mau Berkomentar ?